Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
Berdirinya
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tidak lepas dari latar belakang berdirinya
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar sekaligus
sebagai konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha
Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader.
Selain itu,
situasi dan kondisi politik di Indonesia tahun 60-an yaitu pada masa berjayanya
orde lama dan PKI, Muhammadiyah mendapat tantangan yang sangat berat untuk
menegakkan dan menjalankan misinya. Oleh karena itu, IPM terpanggil untuk
mendukung misi Muhammadiyah serta menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna
perjuangan Muhammadiyah. Dengan demikian, kelahiran IPM mempunyai dua nilai
strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar ma’ruf nahi
mungkar di kalangan pelajar. Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah
yang dapat membawa misi Muhammadiyah pada masa mendatang.
Keinginan
dan upaya para pelajar untuk membentuk organisasi pelajar Muhammadiyah sebenarnya
telah dirintis sejak tahun 1919. Akan tetapi selalu ada halangan dan rintangan
dari berbagai pihak, sehingga baru mendapatkan titik terang ketika Konferensi
Pemuda Muhammadiyah (PM) pada tahun 1958 di Garut. Organisasi pelajar
Muhammadiyah akan ditempatkan di bawah pengawasan PM. Keputusan konferensi
tersebut diperkuat pada Muktamar PM II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli
1960 di Yogyakarta, yakni dengan memutuskan untuk membentuk IPM (Keputusan II/
nomor 4).
Setelah ada
kesepakatan antara Pimpinan Pusat (PP) PM dan Muhammadiyah Majelis Pendidikan
dan Pengajaran pada tanggal 15 Juni 1961, ditandatanganilah peraturan bersama
tentang organisasi IPM. Pendirian IPM tersebut dimatangkan secara nasional pada
Konferensi PM di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961. Sehingga pada tanggal 5
Shafar 1381 H bertepatan dengan tanggal 18 Juli 1961 M ditetapkan sebagai hari
kelahiran IPM dengan Ketua Umum Herman Helmi Farid Ma’ruf dan Sekretaris Umum
Muh. Wirsyam Hasan. Akhirnya, IPM menjadi salah satu organisasi otonom (ortom)
Muhammadiyah yang bergerak di bidang dakwah dan kaderisasi di kalangan pelajar
Muhammadiyah.
Pada
Konferensi Pimpinan Pusat (Konpiwil) IPM tahun 1992 di Yogyakarta, Menpora
Akbar Tanjung secara implisit menyampaikan kebijakan pemerintah pada IPM untuk
melakukan penyesuaian tubuh organisasi. PP IPM diminta Depdagri mengisi
formulir direktori organisasi disertai catatan agar pada waktu pengembalian
formulir tersebut nama IPM telah berubah. Tim eksistensi PP IPM yang bertugas
membahas masalah ini, melakukan pembicaraan secara intensif. Akhirnya
diputuskan perubahan nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja
Muhammadiyah (IRM), dengan pertimbangan:
1.
keberadaan pelajar sebagai kader persyarikatan, umat dan bangsa selama
ini belum mendapat perhatian sepenuhnya dari persyarikatan Muhammadiyah;
2.
perlunya pengembangan jangkauan IPM;
3.
adanya kebijakan pemerintah RI tentang tidak diperbolehkannya penggunaan
kata pelajar untuk organisasi berskala nasional.
Keputusan
pergantian nama ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) PP IPM nomor
VI/PP.IPM/1992 yang selanjutnya disahkan oleh PP Muhammadiyah tanggal 22
Jumadil Awwal 1413 H bertepatan dengan 18 November 1992 M tentang pergantian
nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan
demikian secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18
November 1992.
Seiring
perkembangan organisasi IRM, muncul berbagai reaksi dari tubuh persyarikatan
bahwa IRM dinilai kurang fokus terhadap pembinaan pelajar di
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Maka, Tanwir Muhammadiyah tahun 2007
merekomendasikan IRM untuk berubah kembali menjadi IPM.
Pembahasan
mengenai basis masa dan lokus gerakan sebenarnya sudah mengemuka sejak Muktamar
IRM ke-14 di Lampung. Pada Muktamar IRM ke-15 pun, mengamanatkan untuk
membentuk tim eksistensi yang bertugas untuk membahas masalah ini. Tim
eksistensi PP IPM juga meminta saran pendapat dari PP Muhammadiyah dan
ortom-ortom di dalamnya.
Tak lama
kemudian, PP Muhammadiyah mengeluarkan SK nomor 60/KEP/I.0/B/2007 tertanggal 7
Jumadil Awwal 1428 H bertepatan dengan 24 Mei 2007 M tentang perubahan
nomenklatur IRM menjadi IPM. Sehubungan dengan munculnya berbagai reaksi
terkait SK tersebut, PP IPM segera mengadakan pleno diperluas dengan mengundang
PP Muhammadiyah dan seluruh Pimpinan Pusat (PW) IPM se-Indonesia. Setelah
berdialog secara intensif, PP Muhammadiyah mengeluarkan maklumat berkenaan
dengan SK PP Muhammadiyah nomor 60/KEP/I.0/B/2007 bahwasanya perubahan IRM
menjadi IPM membutuhkan proses. Maklumat ini berlaku efektif setelah Muktamar
IRM XVI pada tanggal 23-28 Oktober 2008 di Surakarta.
Muktamar IPM
pertama setelah perubahan dari IRM dilaksanakan pada tanggal 2-7 Juni 2010 di
Bantul, DI. Yogyakarta. Muktamar kali ini bertepatan dengan setengah Abad
Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dalam Muktamar ini dilaunching Gerakan Pelajar
Kreatif (GPK) yang merupakan turunan dari Gerakan Kritis Transformatif (GKT).
Sejarah
perkembangan IPM, sejak dari kelahiran Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM) hingga
kemudian terjadinya perubahan nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
pada tahun 1992 dan kemudian berubah nama kembali menjadi Ikatan Pelajar
Muhammadiyah (IPM) telah melalui proses yang panjang seiring dengan dinamika
yang berkembang di masyarakat baik dalam skala nasional maupun global. Hingga
saat ini IPM telah melampaui empat fase perkembangan, yaitu:
1. Fase Pembentukan (mulai tahun 1961 s/d 1976). Kelahiran IPM bersamaan dengan masa dimana pertentangan idiologis menjadi gejala yang menonjol dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia dan dunia pada waktu itu. Keadaan yang demikian menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan tidak hanya dalam persaingan kekuasaan di lembaga pemerintah, bahkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi seperti ini IPM lahir dan berproses membentuk dirinya. Maka sudah menjadi kewajaran bila pada saat awal keberadaannya IPM banyak terfokus pada upaya untuk mengkonsolidasikan dan menggalang kesatuan Pelajar Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia dalam wadah IPM. Upaya untuk menemukan karakter dan jati diri IPM sebagai gerakan kader dan dakwah banyak menjadi perhatian pada waktu itu. Upaya ini mulai dapat terwujud setelah IPM dapat merumuskan Khittah Perjuangan IPM, Identitas IPM, dan Pedoman Pengkaderan IPM (hasil Musyawarah Nasional/Muktamar ke-2 di Palembang tahun 1969). Fase pembentukan IPM diakhiri pada tahun 1976 yaitu dengan keberhasilan IPM merumuskan Sistem Pengkaderan IPM (SPI) hasil Seminar Tomang tahun 1976 di Jakarta. Dengan SPI yang telah dirumuskan tersebut, maka semakin terwujudlah bentuk struktur keorganisasian IPM secara lebih nyata sebagai organiasai kader dan dakwah yang otonom dari persyarikatan Muhammadiyah.
1. Fase Pembentukan (mulai tahun 1961 s/d 1976). Kelahiran IPM bersamaan dengan masa dimana pertentangan idiologis menjadi gejala yang menonjol dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia dan dunia pada waktu itu. Keadaan yang demikian menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan tidak hanya dalam persaingan kekuasaan di lembaga pemerintah, bahkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi seperti ini IPM lahir dan berproses membentuk dirinya. Maka sudah menjadi kewajaran bila pada saat awal keberadaannya IPM banyak terfokus pada upaya untuk mengkonsolidasikan dan menggalang kesatuan Pelajar Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia dalam wadah IPM. Upaya untuk menemukan karakter dan jati diri IPM sebagai gerakan kader dan dakwah banyak menjadi perhatian pada waktu itu. Upaya ini mulai dapat terwujud setelah IPM dapat merumuskan Khittah Perjuangan IPM, Identitas IPM, dan Pedoman Pengkaderan IPM (hasil Musyawarah Nasional/Muktamar ke-2 di Palembang tahun 1969). Fase pembentukan IPM diakhiri pada tahun 1976 yaitu dengan keberhasilan IPM merumuskan Sistem Pengkaderan IPM (SPI) hasil Seminar Tomang tahun 1976 di Jakarta. Dengan SPI yang telah dirumuskan tersebut, maka semakin terwujudlah bentuk struktur keorganisasian IPM secara lebih nyata sebagai organiasai kader dan dakwah yang otonom dari persyarikatan Muhammadiyah.
2.
Fase Penataan (mulai tahun 1976 s/d tahun 1992) IPM memasuki fase penataan
ketika bangsa Indonesia tengah bersemangat mencanangkan pembangunan ekonomi
sebagai panglima, dan memandang bahwa gegap gempita persaingan ideologi dan
politik harus segera diakhiri jika bangsa Indonesia ingin memajukan dirinya.
Situasi pada saat itu menghendaki adanya monoloyalitas dalam berbangsa dan
bernegara dengan mengedepankan stabilitas nasional sebagai syarat pembangunan
yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam keadaan seperti ini menjadikan
organisasi-organisasi yang berdiri sejak masa sebelum Orde Baru harus dapat
menysuaikan diri. Salah satu kebijakan pemerintah yang kemudian berimbas bagi
IPM adalah tentang ketentuan OSIS sebagai satu-satunya organisasi pelajar yang
eksis di sekolah. Keadaan ini menyebabkan IPM mengalami kendala dalam mengembangkan
keberadaannya secara lebih leluasa dan terbuka. Agenda Permasalahan IPM yang
membutuhkan perhatian khusus untuk segera dipecahkan pada waktu adalah tentang
keberadaan IPM secara nasional yang dipermasalahkan oleh pemerintah karena OSIS
lah satusatunya organisasi pelajar yang diakui eksistensinya di sekolah.
Konsekwensinya semua organisasi yang menggunakan kata-kata pelajar harus
diganti dengan nama lain. Pada awalnya IPM dan beberapa organiasasi pelajar
sejenis berusaha tetap konsisten dengan nama pelajar dengan berharap ada
peninjauan kembali kebijaksanaan pemerintah tersebut pada masa mendatang. Namun
konsistensi itu ternyata membawa dampak kerugian yang tidak sedikit bagi IPM
karena kemudian kegiatan IPM secara nasional seringkali mengalami hambatan dan
kesulitan penyelenggaraannya. Disamping itu beberapa organisasi pelajar yang
lain yang senasib dengan IPM satu-persatu mulai menyesuaikan diri, sehingga IPM
merasa sendirian memperjuangkan konsistensinya. Pada sisi lain IPM merasa perlu
untuk segera memperbaharui visi dan orientasi serta mengembangkan gerak
organisasi secara lebih luas dari ruang lingkup kepelajaran memasuki ke dunia
keremajaan sebagai tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Maka tanggal 18
November 1992 berdasarkan SK PP Muhammadiyah No. 53/SK-PP/ IV.B/1.b/1992 Ikatan
Pelajar Muhammadiyah secara resmi berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah.
3.
Fase Pengembangan (mulai tahun 1992 s/d 2008). Perubahan nama IPM menjadi
IRM beriringan dengan situasi bangsa Indonesia tengah menyelesaikan PJPT I
(Pembangunan Jangka Pendek Tahun I) dan akan memasuki PJPT II. Banyak kemajuan
yang telah diperoleh bangsa Indonesia sebagai hasi PJPT I, diantaranya adalah
pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan pesat, stabilitas nasional yang
semakin mantap, dan tingkat pendidikan, kesehatan, dan sosial ekonomi
masyarakat semakin baik. Namun demikian ada beberapa pekerjaan rumah yang harus
segera diselesaikan bangsa Indonesia pada PJPT II antara lain: masalah
pemerataan pembangunan dan kesenjangan ekonomi, demokratisasi, ketertinggalan
di bidang IPTEK, permasalahan sumber daya manusia, dan penegakan hukum dan
kedisiplinan. Sementara itu, era 90-an ditandai dengan semakin maraknya
kesadaran ber-Islam diberbagai kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Di samping
itu peran dan partisipasi ummat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
juga semakin meningkat. Kondisi yang demikian memberi peluang bagi IRM untuk
dapat berkiprah lebih baik lagi. Pada sisi lain, kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi semakin membawa manusia ke arah globalisasi yang membawa banyak
perubahan pada berbagai sisi kehidupan manusia. Tatanan sosial, budaya,
politik, dan ekonomi banyak mengalami perombakan drastis. Salah satu perubahan
mendasar yang akan banyak membawa pengaruh bagi bangsa Indonesia adalah masalah
liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi sebagaimana telah diputuskan dalam
konferensi APEC merupakan kebijakan yang tidak terelakkan karena mulai tahun
2003 mendatang Indonesia harus memasuki era AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang
dilanjutkan pada tahun 2020 dalam skema liberalisasi perdagangan yang lebih
luas di Asia Psifik. Pengaruh liberalisasi ekonomi ini akan berdampak luas
tidak hanya dalam aspek ekonomi saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial,
politik, dan budaya. Salah satu dampak yang sekarang sangat dirasakan adalah
munculnya krisis moneter yang terjadi di Asia Tenggara dan sebagian Asia Timur.
Munculnya krisis yang dimulai dengan timbulnya depresi mata uang, disebabkan
oleh ketidakpastian perangkat suprastruktur dan infrastruktur baik ekonomi
maupun politik dalam mengantisipasi dampak globalisasi perdagangan. Fenomena
ini kemudian memunculkan tuntutan reformasi di bidang ekonomi dan politik
sebagai prasyarat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan krisis. Di
Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena krisis dan menderita paling
parah juga muncul tuntutan reformasi. Fenomena reformasi yang dituntut
masyarakat Indonesia adalah reformasi yang mendasar diseluruh bidang baik di
bidang ekonomi, budaya, politik bahkan sampai reformasi moral. Tuntutan
reformasi ini jelas mendesak IRM untuk melakukan peran dan fungsinya sebagai
organisasi keagamaan dan dakwah Islam dikalangan remaja menjadi lebih aktif dan
responsif terhadap perkembangan perjalanan bangsa menuju masyarakat dan
pemerintahan yang bersih dan modern. Dalam kondisi yang demikianlah IRM
memasuki fase pengembangan, yaitu perkembangan pasca perubahan nama IPM menjadi
IRM hingga terselenggaranya pelaksanaan pola kebijakan jangka panjang IRM pada
Muktamar XII. Diharapkan nantinya IRM telah mencapai kondisi yang relatif
mantap baik secara mekanisme kepemimpinan maupun mekanisme keorganisasian
sehingga mampu secara optimal menjadi wahana penumbuhan dan pengembangan
potensi sumber daya remaja. Pengelolaan sumber daya yang dimiliki Ikatan Remaja
Muhammadiyah harus didukung dengan adanya peningkatan kapasitas kualitas
pemimpin, mekanisme kerja yang kondusif yang seiring dengan kemajuan zaman,
serta pemantapan dan pengembangan gerak Ikatan Remaja Muhammadiyah yang
berpandangan ke depan namun tetap dijiwai oleh akhlak Mulia. IRM dituntut untuk
dapat menyiapkan dasar yang kokoh baik secara institusional maupun personal
sehingga tercipta komunitas yang kondusif bagi para remaja sehingga dapat
menghadapi setiap perkembangan zaman yang ada.
4.
Fase Kebangkitan (mulai tahun 2006 s.d 2010). Pada fase ini, terhitung
sejak delapan tahun sebelumnya dimana bangsa Indonesia sedang ramai menyambut
masa baru yang diharapkan dapat melakukan perubahan bangsa yang lebih baik yaitu
masa reformasi tahun 1998. Akan tetapi pada kenyataannya pasca reformasi hingga
tahun 2006 yang telah dipimpin oleh tiga kepemimpinan presiden yang berbeda
(Bpk. Abdurrahman Wahid, Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bpk. Susilo Bambang
Yudhoyono), tidak kunjung membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa, bahkan
memunculkan penyakitpenyakit baru di negeri ini. Demikian juga hingga saat ini,
memasuki masa kepemimpinan “Kabinet Indonesia Bersatu jilid II”, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, telah menunjukkan kesempurnaan hancurnya negeri ini,
seperti yang banyak diungkapkan oleh para ahli dan pakar, serta pengamat
politik di Indonesia. Karena bangsa ini sedang dipimpin oleh para pemimpin
bangsa yang cenderung korup dan senang menjual bangsanya ke negara asing atau
bisa dikatakan kepemimpinan bangsa yang tidak lagi memiliki karakter
kepemimpinan yang selalu siap membela rakyatnya, membawa rakyatnya kepada
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Hal ini dapat dilihat dari maraknya
korupsi disemua jenjang struktur pemerintahan yang ada, permainan politik yang
tidak mencerdaskan rakyat justru melakukan pembodohan pada masyarakat dan masih
banyak lagi persoalan bangsa yang melekat di negeri ini. Hal ini menunjukkan
bahwa betapa bangsa ini sedang krisis disegala bidang, bahkan krisis moral
pemimpin bangsa. Dari sinilah IRM yang kemudian kembali berubah nama menjadi
IPM pada tahun 2008 dituntut untuk terus berperan dalam melakukan gerakan
dakwahnya, khususnya dikalangan remaja/pelajar sebagai penerus estafeta kepemimpinan
bangsa beberapa tahun mendatang. Di tengah kondisi bangsa yang sedang krisis
disegala bidang dan dilanda banyaknya musibah atau bencana alam yang tidak
kunjung selesai pada tahun 2004-2009 (kepemimpinan presiden SBY) kala itu. Di
tubuh IRM-pun pada Muktamar XIV tahun 2006 di Medan, turut merespon kondisi
bangsa kala itu. Karena IRM sangatlah sadar sekali akan gerakan sosial yang
dilakukan berlandaskan pada nilainilai perjuangan untuk melakukan suatu
perubahan yang lebih baik, yang kemudian sangat dikenal dengan Gerakan Kritis
Transformatif (GKT)-nya. Akan tetapi cenderung mengalami pergeseran pergerakan
yang kemudian menjadi meluas dan tidak lagi fokus terhadap bassis massa yang
seharusnya menjadi perhatian utama oleh IRM sebagai organisasi remaja/pelajar
Muhammadiyah. Oleh karena itulah, kemudian pada Muktamar XIV tahun 2006 di
Medan kembali menyuarakan agar IRM kembali berubah nama menjadi IPM dengan
beberapa alasan diantaranya; Masa Orde Baru telah runtuh, kini telah lama
memasuki masa reformasi dan sudah tidak ada lagi tekanan dari pemerintah bahwa
satu-satunya organisasi pelajar di sekolah hanyalah OSIS, maka IPM dapat
kembali ke bassis massanya secara riil yaitu “pelajar”. Dan yang kedua, IRM
harus kembali pada fokus gerakannya sebagai bassis massa utama yaitu “pelajar”.
Karena pelajar dan pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam melakukan
perubahan bangsa yang lebih baik beberapa tahun kedepan. Meskipun kemudian
belum secara menyeluruh menemukan kesepemahaman atau kesepakatan bersama untuk merubah
nama IRM menjadi IPM, akan tetapi proses prubahan nama tersebut telah berjalan,
yang kemudian pada forum Muktamar tersebut memutuskan untuk pembentukan tim
eksistensi IRM. Hingga pada akhirnya gong perubahan nama tersebut
diperdengarkan lebih cepat sebelum kinerja tim eksistensi dapat menghasilkan
sesuatu yang matang untuk IRM/IPM kedepan. Pada keputusan Tanwir Muhammadiyah
pada tahun 2008 di Yogyakarta, Muhammadiyah memutuskan perubahan nomenklatur
IRM menjadi IPM kembali. Hingga pada akhirnya pintu gerbang IPM-pun kembali
terbuka, dan IRM resmi kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI pada
tahun 2008 di Solo. Kini IPM-pun kembali pada bassis massa dan fokus gerakannya
yaitu membela kaum pelajar dan memperjuangkan pendidikan yang lebih baik, dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itulah IPM saat ini kembali
ke sekolah (back to shcool), kembali memperjuangkan hakekat pendidikan yang
sesungguhnya, yang dapat menghasilkan “Insan Indonesia yang cerdas dan
kompetitif”, sesuai dengan visi pendidikan nasional. Melalui berbagai macam
pelatihan, seminar-seminar, workshop dan lain sebagainya IPM melakukan proses
penyadaran terhadap pelajar akan peran serta fungsi pelajar sebagai obyek
maupun subyek dari proses pembelajaran dan perubahan. Serta melakukan proses
pemberdayaan dan pembelaan terhadap pelajar yang selama ini selalu saja
dijadikan sebagai obyek dari sistem yang tidak mencerdaskan, akan tetapi lebih
kepada pendeskriditan pelajar demi kepentingan sepihak atau kelompok tertentu.
Padahal disisi lain, seiring dengan perkembangan zaman yang ada, baik dari segi
teknologi, komunikasi atau ilmu pengetahuan pada umumnya menjadi tantangan yang
besar bagi pelajar. Menuntut para pelajar agar dapat berjuang lebih keras lagi
(kompetitif) dan kreatif dalam bertindak dan menciptakan sesuatu yang lebih
bermanfaat bagi ummat dan bangsa. Oleh karena itulah, hal tersebut menjadi
salah satu alasan bagi IPM untuk merumuskan suatu rumusan gerakan IPM yang
sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman yang sedang dihadapi pelajar
saat ini. Akhirnya pada Muktamar XVII pada tahun 2010 di Yogyakarta kemarin,
IPM kembali mendeklarasikan satu gerakan yang saling terkait dengan
gerakan-gerakan IPM yang pernah ada sebelumnya. Gerakan tersebut dinamakan sebagai
“Gerakan Pelajar Kreatif”, yang kemudian melahirkan satu visi IPM satu periode
ini, hingga tahun 2012, yaitu “Menjadikan IPM sebagai Rumah Kreatif Pelajar
Indonesia”. Semoga IPM dapat mengimplementasikan gerakan yang ada secara massif
dan progressif, sehingga dapat mencapai visi IPM yang telah dicanangkan dalam
rangka mewujudkan “Pelajar Muslim yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil
dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam,
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.